Kurs rupiah bergerak stagnan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di sesi awal perdagangan hari ini, akhir pekan. Namun kemudian rupiah terkoreksi hingga pertengahan hari ini.
Indeks dolar AS kembali menyentuh rekor tertingginya sejak 20 tahun dan kembali menekan Mata Uang Garuda.
Data ekonomi yang terbilang kurang baik dari dalam negeri, tentunya dapat membebani performa rupiah, ditambah lagi indeks dolar AS yang memang sedang kuat-kuatnya, sehingga menambah hambatan untuk membuat rupiah menguat hari ini.
Melansir data dari Refinitiv, Mata Uang Tanah Air di sesi awal perdagangan bergerak stagnan di Rp 14.595/US$. Kemudian, rupiah kembali terkoreksi sebanyak 0,14% ke Rp 14.616/US$.
Tidak heran, rupiah pun tertekan hingga menyentuh level terendahnya sejak November 2020.
Indeks dolar AS kembali mencetak rekor pada Kamis dan berakhir di level 104,85 yang menjadi level tertinggi sejak Desember 2002. Di sepanjang pekan ini, indeks dolar AS telah menguat 1% terhadap 6 mata uang dunia.
Baru-baru ini rupiah terpuruk karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada Kamis dini hari waktu Indonesia, serta berencana akan mengurangi nilai neracanya.
Dia juga menilai bahwa pertempuran The Fed untuk mengendalikan inflasi akan tetap menyebabkan rasa sakit di pasar karena dampak dari suku bunga acuan yang lebih tinggi. Hal tersebut, sontak saja membuat indeks dolar AS pun menguat dan kembali mencetak rekor terbarunya kemarin.
Tidak hanya itu, kemarin, Ketua The Fed Jerome Powell kembali memberikan pernyataan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga setengah poin persentase atau 50 basis poin pada masing-masing dari dua pertemuan berikutnya dan berjanji bahwa The Fed siap untuk menaikkan lebih banyak lagi jika data berubah ke arah yang salah.
Sementara itu, dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) hari ini telah mengumumkan cadangan devisa April 2022 yang turun US$ 3,4 miliar jika dibandingkan dengan periode Maret 2022 dan berakhir di US$ 135,7 miliar.